Sunday, December 5, 2021

MINDSET GURU DAN POLEMIK UJIAN NASIONAL (UN)


    Sebagaimana bidang-bidang lainnya, dunia pendidikan punya  perkembangan dan sejarahnya sendiri. Mulai era industrial trainer hingga era  technological pragmatism yang memandang siswa sebagai empty vessel, orde old humanism yang mulai memandang pentingnya character building, lalu zaman progressive educator yang mulai perhatian terhadap pentingnya pembelajaran berpusat pada siswa, hingga yang paling mutakhir adalah era public educator yang menganut paradigma konstruktif. Itulah gambaran perjalanan filsafat pendidikan dunia di dalam memandang peseta didik yang tercatat di dalam berbagai catatan sejarah. Namun demikian, tidak berarti perubahan paradigma itu diikuti secara merata oleh lembaga, insan, sert para stake holders Pendidikan di seluruh belahan dunia, termasuk di persada nusantara.


    Mindset tentang paradigma pendidikan itu perlu terus digali , dikembangkan, dan disosialisasikan. Mengapa perlu disosialisasikan? Karena masih kerap kita dengar dan jumpai praktek-praktek pembelajaran di negara kita, yang  belum mengikuti perkembangan paradigma pendidikan yang berkembang di dunia.  


     Sekedar mengambil contoh, masih banyak Guru yang belum bisa membedakan pendekatan pembelajaran suatu ilmu antara untuk siswa SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Semuanya diperlakukan sama. Pelajaran olah raga untuk siswa SD, lebih banyak teorinya daripada prakteknya. Juga, mata pelajaran Agama di SD masih diajarkan dengan cara menghafal. Pertanyaannya, mengapa pelajaran olah raga dan agama tidak memperbanyak praktek ? Bukankah dalam pelajaran  olan raga dan Agama itu yang terpenting adalah prakteknya?? Di betak Guru tersebut sepertinya masih tertanam paradigma transfer of knowledge  tanpa mempertimbangkan karakteristik dari Ilmu yang diajarkan.


    Begitu juga mindset  Pendidikan perlu segera diluruskan mengingat kondisi peserta didik yang faktanya sangat beragam. Mereka berbeda latar belakang sosial budaya, berbeda ras, suku, status ekonomi, dll. Mereka memiliki kebiasaan dan harapan yang tentunya juga berbeda. Pendidikan selayaknya memfasilitasi situasi yang  beragam itu sehingga siswa tidak merasa dipaksa merasakan dan menjalani hal yang sama padahal minat, bakat dan kondis mereka bereda. Idealnya Begitu.


    Suatu praktek yang terjadi di Inggris pada sekitar 25 tahun yang lalu oleh seorang dosen Indonesia yang melakukan observasi di sebum sekolah dasar mendapati bahwa  mindset yang dikembangkan di sana adalah guru itu adalah pelayan. Siswa di dalam suatu kelas difasilitasi pembelajaran dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai minat siswa. Begitu juga evaluasinya juga beragam sehingga hasilnyapun juga berbeda. Tidak hanya itu, buku yang digunakan beda, LKS yang dipakai tidak sama. Guru memberikan layanan dan fasilitasi sesuai dengan kondisi siswa. Itulah makna Guru sebagai pelayan, bukan ‘penjajah’ yang selalu memaksa. Maka tidak heran jika ada kasus dimana seorang Guru membunuh muridnya karena sang murid tidak mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Padahal mungkin saja sang murid hidak mengerjakan PR dengan alasan tertentu yang bisa ditolerir yang mungkin sekali tidak pernah terbayang oleh Sang Guru. 


    Mempertimbangkan paradigma dan praktik yang terjadi di lapangan, rasanya kita memang perlu benar-benar mempertimbangkan Ujian Nasional yang menuntut banyak ‘kesamaan’, sementara faktanya mereka berbeda. Tentu ini banyak pendapat dan polemik. Yang pro-UN juga memiliki alasan yang tidak bisa kesampingkan begitu saja. Misalnya sebagai parameter kualitas pendidikan di Indonesia, dll. Mana yang benar? Tentu penulis tidak berhak menentukan. Tapi setidaknya kita telah memikirkan. 

No comments:

Post a Comment

Curriculum Vitae

  CURRICULUM VITAE Data Diri Nama Lengkap Raden Muhammad Ali,S.S., M.Pd. Tempat, Tgl Lahir Gresik, 16 Februari 1977 Alamat e-mail raden.ali@...